Kamis, 29 Desember 2016

PENDIDIKAN PRANATAL DALAM AGAMA HINDU

PENDIDIKAN PRANATAL DALAM AGAMA HINDU


Bila kita cermati semua agama termasuk semua ajaran yang meyakini Kemaha Kuasaan Tuhan merupakan sebuah pendidikan di dalam meningkatkan kesadaran dan meningkatkan moralitas untuk mencapai kedamaian abadi (Sekala dan Niskala ). Untuk itu agama Hindu mengajarkan cara mendidik anak sedini mungkin semasih janin dalam kandungan. Sebab itu merupakan pendidikan yang sangat mendasar yang nantinya bisa menunjang pendidikan yang lain setelah bayi itu lahir. Adapun kitab penuntunnya untuk pendidikan anak sebelum lahir ( Pendidikan Pranatal ) terdapat pada kitab; Angastyaprana dan kitab Smarareka. Di dalam kedua kitab tersebut dinyatakan bahwa mendidik anak itu dimulai sejak bayi masih di dalam kandungan, bahkan dimulai sejak calon ibu ngidam.

Sebelum mengarah kepada materi tersebut, maka sangat perlu diketahui tahapan ibu hamil menurut kitab itu antara lain;
1. Liwat.Artinya calon ibu tidak kotor kain lagi, berarti itu sudah terjadi pembuahan ( spermatosoit membuahi sel telur ibu ).
2. Mandeg. Artinya; sel telur yang terbuahi sudah menempel di dinding kandungan ibu.
3. Ngidam. artinya pembuahan sudah semakin membesar, sudah terjadi pemecahan sel-sel dalam kandungan.
4. Hamil. artinya; sudah terjadi pembentukan kelengkapan organ tubuh.

Pada saat seperti ini si janin sangat tergantung pada ibu tentang; makanannya, nafasnya, bahkan pikirannya, semua itu sangat dipengaruhi oleh kondisi si ibu. Maka dari itulah dimasa-masa seperti ini calon orang tua (calon bapak dan calon ibu ), harus berhati-hati dan waspada misalnya; calon bapak jangan sampai membikin pikiran ibu itu jengkel, marah sakit hati dll. Sedapat mungkin si calon ibu dibuat bahagia, damai sesuai dengan kemampuan kita.

 Demikian pula calon ibu jangan bermanja-manja, jangan menonton atau membaca cerita horor, cabul, berita mengerikan dan yang sejenisnya. Berusahalah melakukan sesuatu itu yang dapat menyejukan hati. Sebab semuanya ini akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak di kemudian hari. Semoga bermanfaat, salam Rahayu...

Semoga bermanfaat ya..
Sumber : artikel di facebook

CUNTAKA DALAM HINDU

"CUNTAKA" dalam HINDU

Cuntaka atau sebel adalah suatu keadaan tidak suci menurut pandangan agama Hindu. Menurut pengertian kamus Kawi-Indonesia istilah cuntaka berarti cemer (letuh). Berdasarkan keputusan pesamuhan agung PHDP Nomor 015 / Tap / PA.PHDP / 1984 dipergunakan istilah cuntaka untuk menyatakan suatu keadaan kotor (tidak suci) baik akibat dari kematian maupun hal – hal lain yang dipandang kotor.

Cuntaka dapat digolongkan menjadi 2 macam, yaitu :

1. Cuntaka karena diri sendiri adalah orang yang dalam keadaan kotor (cemer), sehingga tidak boleh melakukan suatu upacara Agama dan memasuki tempat suci.

2. Cuntaka yang disebabkan oleh orang lain adalah orang yang dalam hubungan duka karena kematian, sehingga tidak boleh melakukan upacara keagamaan dan memasuki tempat suci kecuali kegiatan yang ada hubungannya dengan upacara kematian tersebut.

Ada beberapa penyebab sehingga terjadinya Cuntaka, berikut penyebab dan penjelasannya :

1. Kematian
Jika Kematian yang terkena cuntaka adalah keluarga terdekat sampai dengan mindon, serta orang- orang yang ikut mengantar jenazah, demikian pula alat- alat yang dipergunakan dalam keperluan itu. Batas waktunya disesuaikan dengan Loka dresta dan Sastra dresta.

2. Haid / Menstruasi
Jika Haid / Menstruasi yang terkena cuntaka adalah diri pribadi dengan kamar tidurnya. Batas waktunya selama masih mengeluarkan darah sampai membersihkan diri.

3. Bersalin
Jika Bersalin atau melahirkan yang terkena cuntaka adalah Diri pribadi dan suaminya beserta rumah yang ditempatinya. Batas waktunya Sekurang- kurangnya 42 hari dan berakhir setelah mendapat tirtha pabersihan dan suaminya sekurang- kurangnya sampai lepas puser bayinya.

4. Keguguran Kandungan
Jika Keguguran kandungan yang terkena cuntaka adalah Diri pribadi dan suami beserta rumah yang ditempatinya. Batas waktunya Sekurang- kurangnya 42 hari dan berakhir setelah mendapat tirtha pabersihan.

5. Sakit / Kelainan
Penderita sakit kelainan juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan kehidupan kemasyarakatan, karena khawatir akan akibat yang ditimbulkan oleh sakit yang dideritanya.

6. Perkawinan
Cuntaka akibat berlangsungnya upacara perkawinan/pernikahan yang dialami oleh kedua mempelai sebelum dibersihkan dengan upacara penyucian (Sampai dengan mendapat tirta pabeakaonan).

7. Agamya Gamana
Agamya gamana adalah hubungan seks antara anak dengan orang tua, atau termasuk juga hubungan seks antara saudara kandung.

8. Salah Timpal (bersetubuh dengan binatang)
Manusia melakukan hubungan seks dengan binatang. Perbuatan manusia seperti itu adalah merupakan ketidakseimbangan alam, sehingga menyebabkan cuntaka bagi desa adat yang bersangkutan.

9. Kehamilan di luar Nikah
Terjadinya kehamilan di luar perkawinan/pernikahan dan juga melahirkan tanpa didahului dengan upacara perkawinan/pernikahan, akan membuat ketidakharmonisan keluarga bersangkutan dan juga membuat resah keadaan masyarakat sekitarnya. Cuntaka ini sampai diadakannya dengan upakara beakaon.

10. Mitra Ngalang
Mitra Ngalang yaitu Hubungan seks di luar perkawinan/pernikahan. Yang terkena cuntaka adalah Diri pribadi dan kamar tidurnya. Batas waktunya sampai dengan upakara beakaon.

11. Lahir dari Kehamilan tanpa Upacara
Yang terkena cuntaka adalah Diri pribadi, anak dan rumah yang ditempatinya. Dengan batas waktu Sampai dengan adanya yang memeras (disahkan sebagai anak sesuai dengan agama Hindu).

12. Melakukan Sad Atatayi
Sadatatayi, merupakan bahagian dari ajaran moral-etika (susila) kita, yaitu perbuatan yang amat buruk serta harus dijauhkan dari pelaksanaan, perkataan dan bahkan pemikiran sekalipun. Ada enam macam kejahatan yang sangat keji, (sad = enam; atatayi = tiran, pembunuh keji) yaitu terdiri dari:
-Agnida, membakar milik orang lain.
-Wisada, meracuni orang lain.
-Atharwa, melakukan ilmu hitam untuk membunuh orang lain.
-Sastraghna, mengamuk sehingga menyebabkan kematian orang lain.
-Dratikrama, memperkosa sehingga membuat orang lain kehilangan   kehormatan.
-Rajapisuna, suka memfitnah sampai mengakibatkan kematian orang.

Upacara dan Upakara Penyucian Terhadap Cuntaka

Penyucian terhadap cuntaka adalah usaha pengembalian keadaan yang dipandang tidak suci, agar menjadi suci kembali, baik berupa benda-benda, bangunan, lingkungan maupun keadaan manusia.Upacara adalah pelaksanaan dari usaha manusia dalam melaksanakan kegiatan keagamaan. Selanjutnya didalam pelaksanaan upacara akan diperlukan perlengkapan-perlengkapan yang disebut upakara.

Bagi umat Hindu, penyelenggaraan upacara keagamaan menggunakan sarana pelengkap (upakara) berupa banten yaitu beberapa jenis bahan yang diatur sedemikian rupa sehingga indah dilihat dan mempunyai arti simbolis religius keagamaan sesuai dengan fungsi dan pengaruhnya terhadap keadaan tertentu.

Suatu sarana yang tergolong dalam upakara penyucian yaitu prayascita, durmanggala, beakala (beakawon), pedudusan, caru. Dari semua jenis banten tersebut tidaklah terpisah satu sama lainnya, tapi tidak mesti setiap penyucian memakai semua banten tersebut.

Semoga bermanfaat ya..
 Sumber : Artikel Bali Rahayu (facebook)

Selasa, 27 Desember 2016

SEJARAH PURA SARASUTA




SEJARAH TERBENTUKNYA PURA SARASUTA


Pura Sarasuta merupakan sebuah pura yang terletak di dusun Sarasuta, desa Lingsar,kecamatan Narmada, Nusa Tenggara Barat. Menurut informasi yang kami dapat dari beberapa narasumber dikatakan bahwa pura ini di bangun pada sekitar tahun 1935 oleh seseorang yang merupakan pemilik dari tanah tempat berdirinya pura Sarasuta ini, beliau bernama Ida Made Alit Jendra (Alm).
Awalnya, beliau memilikai sujumlah tanah di tempat berdirinya pura ini, dan di tempat ini juga terdapat mata air yang sangat bening, karena mengetahui adanya mata air tersebut dan beliau juga terkagum melihat keindahan suasana di tempat ini, oleh karena itu beliau membangun sebuah tempat suci yang sangat sederhana pada sekitar tahun 1935 dan setelah jadi akhirnya di pelaspas pada bulan agustus 1938.
Sejak mulai dibangunnya pura ini, banyak orang-orang yang berkunjung dan sembahyang di tempat ini. Hingga saat ini, mata air yang awalnya berada di dekat areal pura ini, kini dikelola oleh pihak PDAM dan dijadikan sumber mata air bagi penduduk setempat. Pura ini terletah diantara dua pura lainnya yaitu pura Saraswili dan Pura Saraswaka, namun diantara ketiga bagian pura ini tidak ada keterkaitan satu sama lain, karena pura-pura tersebut dibangun oleh orang-orang yang berbeda, dan letaknya pun juga berada di susun yang berbeda.
Pura sarasuta berfungsi seperti pura-pura pada umumnya, namun yang membedakannya hanya pada pura ini orang-orang yang berkunjung dan sembahyang disana bukan hanya orang-orang yang beragama hindu, tetapi orang yang beragama lainpun juga sembahyang disana, hal ini terjadi karena di pura tersebut terdapat sebuah tempat yang disebut “KEMALIK” yang oleh orang-orang non Hindu dipercayai sebagai tempat mereka sembahyang, dan bagi umat yang beragama Hindu mereka sembahyang di pelinggih yang ada di dalam pura tersebut.
Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, orang-orang yang sembahyang di pura ini dahulunya merupakan orang-orang yang menganut ajaran “Islam Watu Telu” dimana mereka mempercayai bahwa sebelum mereka melakukan kegiatan atau upacara misalnya acara sunatan, mereka mohon doa restu dan sembahyang di kemalik yang ada di pura itu, selain itu, banyak juga yang sembahyang dan nunas tirta di pura itu sebelum mereka akan bepergian karena mereka mempercayai bahwa jika mereka sembahyang dan nunas tirta disana mereka akan memperoleh kesejahteraan dan keselamatan.
Piodalan atau pujawali pura ini jatuh pada Purnama Sasih kedasa, dimana orang/ pengemong dari pura ini yaitu bapak Ida Made Artha yang merupakan putra dari bapak Ida Made Alit Jendra yang merupakan orang yang membangun Pura ini. Pada saat piodalan biasanya keluarga besar beliaulah yang membiayai perlengkapan yang dibutuhkan pada saan piodalan itu, karena pura ini merupakan pura pribadi yang dibangun oleh beliau namun pura ini merupakan tempat sembahyang bagi masyarakat umum.
Biasanya pada saat piodalan dipiput oleh seorang Pedanda/ sulinggih dan rentetan acaranya sangat sederhana yaitu mulai dari ngadegang pada saat sehari sebelum piodalan dan kesokan harinya saat acara piodalan.
Menurut informasi yang kami dapatkan, dahulu pura ini memiliki seorang pemangku yang berasal dari agama islam, namun sampai saat ini tidak ada lagi pemangku di pura itu. Pemangku ini biasanya tinggal di area pura itu khususnya di kemalik yang ada di pura tersebut. Adapun nama-nama pemangku yang pernah ada dipura itu, yaitu:
1)      Papuk Minah
2)      Papuk Maji
3)      Papuk Ijah
Saat ini, orang yang tinggal di area dan menjaga kebersihan pura tersebut yaitu Papuk Ijah, beliau tinggal disana dari masih kecil hingga sekarang beliau sudah tua, setiap hari sebelum beliau makan, beliau selalu mempersembahkan makanan maupun benga di kemalik itu.
Demikian sejarah singkat Pura Sarasuta, semoga bermanfaat!!

sumber : Penelitian Langsung penulis ke lokasi Pura Sarasuta


YOGA SEBAGAI SALAH SATU JALAN UNTUK MENCAPAI MOKSA


Selasa, 20 Desember 2016

BUBU (LIS ALIT)

 BUBU (LIS ALIT)

Bubu (lis alit) adalah satu bagian dari perlengkapan dalam Panca Yadnya, mulai dari Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Bhuta Yadnya, semua reringgitan dalam lis alit diikat menjadi satu sehingga memiliki makna sebagai kekuatan nyomia atau ngelukat semua kekotoran yang diakibatkan oleh kekuatan Bhuta Kala (Asuri Sampad).



Lis Alit terbuat dari daun kelapa muda atau kelapa tua yang merupakan suatu rangkaian yang terdiri dari beberapa reringgitan. Setiap reringgitan merupakan simbol-simbol dari organ tubuh manusia yang terdiri dari :
  1. Tipat pusuh simbol jantung
  2. Isuh-isuh basang muda sebagai simbol usus muda
  3. Isuh-isuh basang wayah simbol usus besar
  4. Siku-siku sebagai simbol lambung
  5. Tangga menek tangga tuwun sebagai simbol usus 12 jari
  6. Tangkar lawangan sebagai simbol paru-paru
  7. Isuh lejer simbol limpa
  8. Tipat tulud/ sesapi simbol hati
  9. Iga sibak simbol pankreas
  10. Iga bungkulan simbol empedu
  11. Bungsil simbol anus
  12. Kekreb simbol jejaringan
  13. Isuh pusut simbol usus buntu
  14. Tipat lepas simbol ginjal
  15. Ttipat lasan Ssimbol puser/pungsed
Demikian sekilas informasi tentang Bubu/Lis alit serta unsur-unsur yang ada di dalamnya, semoga bermanfaat!!

Oleh : Ni LuhAri Surasmini
Sumber : Bahan ajar Mata Kuliah Upakara

Minggu, 18 Desember 2016

SEJARAH TERBENTUKNYA PURA PANCAKA



SEJARAH TERBENTUKNYA PURA PANCAKA


Pura Pancaka merupakan pura yang terletak di jalan Pramuka Mataram Barat, persis di sebelah kampus STAHN Gde Pudja Mataram. Awalnya, tempat berdirinya pura ini sekarang di sana terdapat 2 sumber mata air/ sumber air yang dimanfaatkan untuk mengairi sawah oleh para petani setempat. Mata air ini di percaya oleh masyarakat sekitar dapat membawa berkah, dan banyak juga masyarakat sekitar yang masih terpemgaruh oleh budaya watu telu menghaturkan sesaji berupa kembang di atas mata air  tersebut.Sehingga pada suatu hari ada salah seorang masyarakat yang berasal dari kr.Seraya  yang bernama pak Gede Jirna merasa mendapatkan berkah karena sembahyang di sana, akhirnya beliau memutuskan membeli tanah di areal tempat mata air tersebut dan beliau membangun sebuah pure yang dinamakan Pura Pancaka sekitar tahun 1980 an. Kata PANCAKA dari pura ini di ambil dari sebuah kutipan dalam kitab ADIPARWA yaitu “SAMANTA PANCAKA” yang berarti “Tempat Pensucian”. Awalnya luas areal pura Pancaka kurang lebih sekitar 2 are.
Setelah  bapak Gde Jirna meninggal, pemeliharaan Pura dilanjutkan olej Jero Mangku Patrana Gading  (almarhum) , sehingga di setiap Hari raya Kuningan diadakan upacara persembahyangan bersama (Ngrahinin), dan fungsi pura pancake pada era itu (era masyarakat agraris) karena sebagai sumber mata air untuk mengairi sawah adalah sebagai pura Swagina sebagai sumber kemakmuran/kesejahteraan.
Pada tahun 1980 an Pura Pancaka di emong oleh masyarakat yang lebih luas di bawah kebendesaan Mataram Selatan. Setelah beberapa waktu dengan turunnya bantuan presiden, pura Pancaka di renovasi besar-besaran, bantuan turun ketika Pak Gde Pudja (almarhum) menjabat sebagai Dirjen Bimas Hindu, beliau mengusulkan agar di Pura Pancaka dilakukan renovasi besar-besaran, sehingga luas Pura Pancaka saat ini sekitar 20 are, sehingga Pura ini memiliki pelinggih, bale pada tiap mandala yang cukup lengkap. Adapun disain pura ini di rancang oleh seorang arsitek yang berasal dari Gianyar Bali, yang bernama Ida Bagus Tugur.
Sejak di pelaspasnya/disucikannya bangunan tersebut pada tahun 1982 pada hari Purnamaning Sasih Kapat/ pada bulan oktober, dan Purnamaning Sasih Kapat ini dijadikan hari piodalan sampai saat ini. Adapun pengamong dari Pura Pancaka terdiri dari 6 lingkungan yaitu : kr.Medain barat,kr.Medain utara,kr.Medain Timur,kr.Monjok,kr.Seraya,dan kr.Punia serta 2 Banjar, yaitu: banjar Pancaka dan banjar Asta Dharma. Di Pura ini terdapat sebuah larangan yaitu dilarang menghaturkan sesaji yang berisi daging babi, selain itu di pura ini juga memiliki keunikan yaitu pada zaman dahulu, di pura ini terdapat pelinggih Bhatara Bagus Botoh yang konon berfungsi sebagai tempat memohon petunjuk dan perlindungan ketika terjadi peperangan dan pelinggih ini juga di bangun karena Pak Gede Dirna (yang pertama kali membangun pura ini) suka berjudi/bebotoh maka beliau membangun pelinggih tersebut.
Demikian sejarah singkat terbentuknya Pura Pancaka, Semoga Bermanfaat ya…

Oleh : Ni LuhAri Surasmini
Sumber : Penelitian langsung Penulis ke Lokasi (Pura Pancaka) dan wawancara dengan Narasumber

Selasa, 13 Desember 2016

Selamat Pagi..
Om Swastyastu
Perkenalkan nama saya Ni Luh Ari Surasmini, saya berasal dari Buleleng, Bali. Sekarang saya kuliah di STAHN Gde Pudja Mataram, jurusan Dharma Acarya/Pendidikan Agama Hindu Semester V.
Om Santi,santi,santi Om